Senin, 14 Oktober 2013

Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara, pejuang yang berperang melawan Belanda, kemudian diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sebelumnya ia makamkan di Tarutung, lalu dipindahkan ke Balige, dan terakhir dipindahkan ke Pulau Samosir.[1]

Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia-Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.

Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda.
Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.

Antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu di tahun 1884.[1]
Kontroversi Agama Sisingamangaraja XII
Cap Mohor Sisingamangaraja XII
Agama yang dianut oleh Sisingamangaraja XII adalah agama asli Batak. Namun sudah sejak zaman Belanda terdengar isu bahwa menjelang tahun 1880-an Sisingamangaraja memeluk agama Islam. Yang pertama menyebarkan desas-desus bahwa Singamangaraja XII telah menjadi seorang Muslim adalah para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft). Mereka tiba pada kesimpulan tersebut karena pada saat itu Singamangaraja XII mulai menyalin kerjasama dengan pihak Aceh. Hal itu dilakukannya karena ia mencari sekutu melawan para penginjil RMG yang pengaruhnya di Silindung menjadi semakin terasa dan yang menjalin hubungan erat dengan pemerintah dan tentara Belanda. Namun alasan utama maka para misionaris RMG menyebarkan isu bahwa Singamangaraja telah menjadi seorang Muslim adalah untuk meyakinkan pemerintah Belanda untuk menganeksasi Tanah Batak. Atas permintaan penginjil RMG, terutama I.L. Nommensen, tentara kolonial Belanda akhirnya menyerang markas Singamangaraja XII di Bangkara dan memasukkan Toba dan Silindung ke dalam wilayah jajahan Belanda.
Kontroversi perihal agama Singamangaraja hingga kini tidak pernah reda. Juga sesudah wilayah Batak menjadi bagian dari Hindia Belanda desas-desus bahwa Singamangaraja XII memeluk agama Islam tidak pernah berhenti, sampai ada yang menulis bahwa “Volgens berichten van de bevolking moet de togen, woordige titularis een 5 tak jaren geleden tot den Islam zijn bekeerd, doch hij werd geen fanatiek Islamiet en oefende geen druk op zijn omgeving uit om zich te bekeeren” (“menurut laporan dari penduduk maka sang raja sekitar lima tahun yang lalu memeluk agama Islam, namun ia tidak menjadi seorang Islam fanatis dan tidak berusaha untuk meyakinkan rakyat supaya turut menggatikan agamanya”). Kemudian dalam sebuah surat rahasia kepada Departement van Oorlog (Departemen Pertahanan), maka Letnan L. van Vuuren dan Berenschot pada tanggal 19 Juli 1907 menyatakan, “Dat het vaststaat dat de oude S.S.M. met zijn zoons tot den Islam waren overgegaan, al zullen zij wel niet Mohamedanen in merg en been geworden zijn” (“Bahwa sudah pasti S. S. M. yang tua dengan putra-putranya telah beralih memeluk agama Islam, walaupun keislaman mereka tidak seberapa meresap dalam sanubarinya”).
Selain laporan oleh para misionaris Jerman dan oleh koran-koran Belanda, petunjuk lainnya bahwa Singamangaraja XII beralih agama ke agama Islam termasuk:
Singamangaraja XII tidak makan babi;
pengaruh Islam terlihat pada bendera perang Singamangaraja dalam gambar kelewang, matahari dan bulan; dan
 
Sisingamangaraja XII memiliki cap yang bertuliskan huruf Jawi (tulisan Arab-Melayu).
Untuk butir 1 dapat dikatakan bahwa bukan hanya Singamangaraja XII yang tidak boleh makan babi, melainkan hal itu berlaku juga untuk semua Singamangaraja sebelumnya. Pantangan makan babi tidak ada kaitan dengan agama Islam melainkan juga berlaku untuk para raja yang beragama Hindu. Dalam hal ini perlu diingatkan bahwa agama asli Batak sangat kuat pengaruh Hindu. Untuk butir 2, kelewang, matahari, dan bulan bukan lambang yang eksklusif Islam. Selain daripada itu perlu diingatkan bahwa kerajaan Singamangaraja XII dikelilingi oleh kerajaan-kerajaan Islam sehingga tidak mengherankan kalau ia meminjamkan lambang yang juga digunakan oleh para raja Melayu. Khususnya untuk butir 3. cap Singamangaraja telah dianalisis oleh Prof. Uli Kozok.[2] Selain sebuah teks yang memakai surat Batak (aksara Batak) terdapat pula sebuah teks berhuruf Jawi (Arab Melayu) yang berbunyi; Inilah cap maharaja di negeri Teba kampung Bakara nama kotanya hijrat nabi 1304 [?] sedangkan dalam aksara Batak pada cap itu tertulis Ahu ma sap tuan Si Singamangaraja tian Bangkara, artinya “Akulah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bangkara”. Berdasarkan analisis empat cap Singamangaraja maka Profesor Kozok tiba pada kesimpulan bahwa keempat cap Singamangaraja masih relatif baru, dan diilhami oleh cap para raja Melayu, terutama oleh kerajaan Barus. Pada abad ke-19 huruf Arab-Melayu (Jawi) umum dipakai oleh semua raja di Sumatra sehingga sangat masuk akal bahwa Singamangaraja XII juga menggunakan huruf yang sama agar capnya dapat dibaca tidak hanya oleh orang Batak sendiri melainkan juga oleh orang luar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa argumentasi bahwa Singamangaraja XII telah berpindah agama cukup lemah. Sekiranya Singamangaraja memang memeluk agama Islam maka pasti ia akan mengimbau agar rakyatnya juga memeluk agama Islam. Laporan para penginjil seperti I.L. Nommensen bahwa Singamangaraja telah memeluk agama Islam terutama dimaksud untuk mendiskreditkan Singamangaraja dan untuk menggambarkannya sebagai musuh pemerintah Belanda. Oleh sebab itu maka pembaca harus bersikap sangat berhati-hati terhadap kesimpulan yang sulit dapat dipertahankan.

Minggu, 29 September 2013

Abdul Muis Pahlawan Nasional Indonesia
Abdoel Moeis, tokoh pergerakan dan pahlawan nasional berdarah minang yang lahir pada 3 Juli 1883, tepatnya di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat. Tak banyak yang dapat diketahui sebelum Abdoel Moeis muda mengenyam pendidikan dasarnya pada sekolah Belanda tingkat persiapan Stovia di Bukittinggi untuk kemudian menuju Bandung dan tinggal lama di kota ini. Tak heran jika Bandung memiliki ikatan erat dengan tokoh yang satu ini, hingga lokasi sekitar terminal pusat kota Bandung kemudian disebut terminal Abdoel Moeis untuk menggantikan nama terminal Kebon Kalapa.

Sekitar tahun 1903-1905, Abdoel Moeis muda diterima bekerja di Departemen Pengajaran dan Keagamaan atas jasa Mr. Abendanon. Abdoel Moeis pernah ditempatkan di Bank Rakyat. Di sini, nalurinya terhadap kerakyatan mulai terpupuk. Abdoel Moeis geram melihat kasus pungutan liar yang dilakukan oleh lurah dan kaum priyayi rendahan pada orang-orang desa, dan pada akhirnya memutuskan keluar dari pekerjaan yang mapan tersebut.

Di sinilah karir Abdoel Moeis yang sesungguhnya dimulai. Mengawali karir sebagai korektor naskah yang masuk ke suratkabar berbahasa Belanda, Preangerbode. Nama Abdoel Moeis mulai dikenal banyak orang saat artikelnya yang banyak dimuat di harian De Express selalu mengecam tulisan orang-orang kolonialis Belanda. Setelah De Expres dilarang terbit akibat artikel keras Soewardi Soerjaningrat "Als Ik Ees Nederlander was" pada 1912, Moeis bekerja di suratkabar Kaoem Moeda, koran pertama yang mengenalkan rubrik "Pojok" sejak tahun 1913-an. Posisi Moeis sebagai redaktur serta mengurusi masalah-masalah penerbitan dan pemasaran, membuatnya lebih leluasa untuk melanjutkan perjuangan dengan pena sebagai senjata. Koran Kaoem Moeda ini menjadi tulang punggung perjuangan Sarekat Islam di Bandung. Selain itu, Abdoel Moeis juga masuk ke keredaksian Oetoesan Hindia, organ internal SI, pada 1915 serta tercatat pula sebagai redaktur di majalah Hindia Sarekat yang didirikannya bersama bersama Soewardi Soerjaningrat dan A.Widnjadisastra. 50 persen penghasilan dari majalah Hindia Sarekat itu dimasukan untuk kas Sarekat Islam, untuk membantu pergerakan.

8 September 1917, Moeis bergabung dengan Neratja sebagai pemimpin redaksi. Tulisan-tulisan Moeis yang radikal menjadi pemicu perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Pada setiap tulisannya, secara konsisten ia suarakan komitmennya terhadap perbaikan nasib pribumi. Moeis juga memimpin perusahaan periklanan NV Neratja yang terutama mengiklankan perusahaan-perusahaan gula. Neratja memang merupakan organ dari Suikersindicaat (asosiasi pabrik gula) Hindia Belanda.

Abdoel Moeis juga mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh penting pergerakan yang berpengaruh, serta terjun pada organisasi Sarekat Islam sejak 1913. Nyaris sebagian besar masa mudanya ia baktikan untuk perjuangan bersama organisasi Islam ini, Dan mulai April 1914 hingga beberapa tahun setelahnya, Moeis dipercaya menjadi wakil ketua Central Sarekat Islam (CSI, pengurus pusat SI) mendampingi Tjokroaminoto. Sejak saat itu, dengan cepat Moeis menjelma menjadi sosok intelektual yang berpengaruh. Abdoel Moeis juga dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Soewardi Soeryaningrat. Keempatnya terlibat dalam Komite Boemi Poetra, yang menentang Peringatan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda dari penjajahan Spanyol. Keempatnya menentang keras dan menolak dengan tegas karena Belanda akan merayakan kemerdekaan di tanah yang dijajahnya.

Abdoel Moeis dikenal sebagai pembela kepentingan rakyat kecil. Ia sering melakukan kunjungan ke berbagai daerah untuk membela kepentingan rakyat serta mengobarkan semangat pemudanya agar semakin giat berjuang meraih kemerdekaan. Kemerdekaan, selalu menjadi impian terbesar Moeis. Ia juga tak pernah sepakat dengan penamaan Hindia Belanda. Baginya, Hindia Belanda adalah sebuah hubungan dari Belanda atas Hindia yang didasari atas kepemilikan dan dominasi, dengan kata lain mendefinisikan daerah jajahan. Moeis lalu memberi makna politis dalam bentuk Hindia yang harus merdeka. Berikut sedikit dari cungkilan pemikiran Moeis,

"Selama bumiputera tanah Hindia belum mempunyai kebangsaan dan tanah air sejati, maka perasaan cinta tanah air dan bangsa itu harus dibangunkan dalam kalbu bumiputera. Selama bumiputera tanah Hindia belum mendapat kemerdekaan, maka lebih dahulu ia harus mempunyai sifat yang tersebut di atas. Segala pergerakan bumiputera haruslah berikhtiar membangunkan perasaan ini, karena dengan alasan itu saja suatu bangsa akan bernafsu memajukan negerinya, mengangkat derajat bangsanya."

Setelah meletus Perang Dunia I, pada tahun 1917 Abdoel Moeis mewakili Sarekat Islam dan lima orang lain yaitu Pangeran Ario Koesoemodiningrat (mewakili Prinsen Bond), Bupati Magelang Raden Tumenggung Danoe Soegondo mewakili Regenten Bond, Mas Ngabehi Dwidjosewojo mewakili Boedi Oetomo, F Laoh mewakili Perserikatan Minahasa, dan W.V Rhemrev diutus ke Belanda sebagai anggota Komite Indie Weerbaar guna membicarakan masalah pertahanan bagi bangsa Indonesia. Selain itu, ada seorang pendamping yaitu Dirk van Hinloopen Labberton, seorang tokoh pendukung Politik Etis.

Komite Indie Weerbaar adalah barisan pertahanan Hindia atau biasa dikenal dengan sebutan Milisi Indonesia yang merencanakan akan diberlakukannya semacam wajib militer bagi penduduk pribumi. Rencana ini mendapat reaksi keras dari anggota SI di Kota Semarang, namun begitu Abdoel Moeis tetap berangkat ke Belanda. Menurut Moeis, dengan masuknya rakyat ke dalam angkatan bersenjata akan mendorong terbentuknya laskar perjuangan yang lebih tangguh dan dapat dibanggakan di dalam sistem hirarki sosial.

Menjelang kepulangan ke Hindia Belanda, diadakan pesta besar yang diselenggarakan Jenderal Van Heutsz dan dihadiri oleh para tokoh terkemuka dari kalangan pemerintahan dan dunia usaha, yang kemudian menyepakati untuk mendirikan sekolah politeknik di Hindia. Menurut Dirk van Hinloopen Labberton, jika ada perang, bumiputera pertama tama mesti melindungi kepentingannya sendiri. Labberton juga menjelaskan bahwa tidak lama lagi oleh usaha pihak partikulir di Hindia, kira kira di Bandoeng, akan didirikan Technische Hooge School. Hal ini tentu seolah menjadi angin segar mengingat mendirikan Sekolah Teknik Tinggi di Hindia Belanda sebenarnya sudah menjadi pemikiran elite Bumiputera dan sementara pengusaha dan industriawan Belanda di Hindia sebelum 1917. Misalnya dalam Doenia Bergerak No. 18 (1914) sudah muncul tulisan berjudul "Pendapatan hal Techniche Hooge School di Hindia" Soewardi Soerjaningrat yang ketika itu (1917) masih di Nederland gencar sekali mendukung pendirian Sekolah Tinggi Teknik itu.

Sesampainya di Hindia Belanda, delegasi Indie Weerbaar, khususnya Abdoel Moeis berupaya melakukan negosiasi hingga disetujuinya pembentukan komisi untuk pendidikan teknik di Hindia oleh Ratu Belanda dan 14 pengusaha Belanda yang memberikan dukungan finansial penuh. Pada tahun 1920, sekolah yang diimpikan itu berdiri di Kota Bandung dengan nama Technische Hogeschool (THS). Menurut keterangan putrinya, Dr. Diana Moeis, ayahnya pernah bercerita bahwa lokasi THS yang sekarang disebut sebagai Intitut Teknologi Bandung itu usulan ayahnya. Pembangunan gedung THS juga tak lewat dari masukan dari Abdoel Moeis yang menginginkan agar ada unsur pribumi dalam bangunan tersebut.

Dalam karir politiknya, Abdoel Moeis pernah menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) bersama H.O.S Tjokroaminoto sebagai perwakilan dari SI. Di forum inilah Moeis dengan gencar mengecam penamaan Hindia Belanda untuk wilayah nusantara. Ia adalah salah satu penggagas lahirnya nama Indonesia. Keterlibatan Moeis dan Tjokroaminoto dalam Volksraad ini juga ditentang oleh Semaoen, Darsono, dan anggota SI Semarang lainnya. Sementara itu, Moeis dengan pemikiran modernnya berpikiran bahwa Volksraad adalah tempat yang tepat untuk menggerakkan harapan-harapan pemuda. Dengan Volksraad pula, suara bumiputera akan bisa lebih terakomodasi dalam rangka mewujudkan tujuan untuk membentuk pemerintahan sendiri bagi Hindia. Pertentangan di tubuh internal SI berlanjut dan semakin parah. Anggota SI Semarang yang digalang Semaoen, Darsono, dan Tan Malaka adalah anggota dengan karakter radikal, serta juga menjadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) pimpinan Sneevliet yang adalah cikal-bakal partai beraliran komunis di Indonesia.

Menurut Soe Hok Gie di bukunya ‘Di Bawah Lentera Merah’, mengungkap tiga point penting yang menjadi pokok pangkal perseteruan keduanya antara kedua SI. Hal pertama mengenai agama. Kelompok Moeis menginginkan agar Islam diperkembangkan melalui partai, sedangkan Semaoen beranggapan cukup agama Islam itu tidak dibelakangkan dari agama lain di Indonesia. Hal kedua mengenai nasionalisme. Kelompok Moeis menolak pertuanan (penghambaan-pen) bangsa yang satu oleh bangsa lainnya, sementara kelompok Semaun menganggap perjuangan melawan kapitalisme adalah yang paling utama. Hal ketiga adalah sikap terhadap kapitalisme. Keduanya sepakat: untuk memperoleh kemerdekaan diperlukan dana perjuangan. Bagi kelompok Moeis modal boleh dimiliki oleh individu orang Indonesia. Sementara bagi kelompok Semaoen modal harus dikumpulkan pada badan-badan koperasi.

Dalam salah satu bentuk penyadaran nasionalisme bumiputera, Abdoel Moeis berkata:

"Yang menjadi tujuan daripada perhimpunan kaum pribumi itu adalah memperbaiki nasib kaum bumiputera. Sedangkan bila ia melihat lebih jauh maka tidak dapat tidak akan nampak bahwa perhimpunan-perhimpunan tersebut hanya satu tujuannya, yaitu kemerdekaan Hindia."

Dalam sambutannya di Kongres Nasional SI Kedua, Bandung 20-27 Oktober 1917, Abdoel Moeis melanjutkan gagasannya, "Putera-puteri Hindia tetap mengarahkan pandangannya kepada tujuan yang telah mereka idam-idamkan: melepaskan diri dari belenggu yang mengikat mereka."

"Yang pertama-tama harus kita miliki untuk usaha yang sukar dan berbahaya ini adalah rasa Kebangsaan, yaitu cinta kepada negara dan sesama bangsa kita. Bila kita renungkan betapa buruknya nasib negara dan sesama bangsa kita yang beratus-ratus tahun terbelenggu oleh orang-orang asing, serasa berdebarlah hati kita, berdiri bulu roma, dan kita merasa kasihan kepada negara dan sesama bangsa kita."

Di akhir orasinya, Moeis lagi-lagi menegaskan pentingnya menumbuhkan cinta tanah air serta menekankan perlunya merapatkan barisan dan menghemat energi untuk kepentingan-kepentingan dalam negeri terlebih dahulu, meski juga mesti tanpa mengesampingkan perkembangan global. "Untuk memperbaiki rumah tangga seluruh dunia tidak usah kita terlebih dahulu menjadi kaum internasionalis."

Selain berjuang bersama Sarekat Islam dan rutin menulis di Koran Kaoem Moeda, Abdoel Moeis dikenal piawai dalam mempengaruhi massa. 11 Januari 1922, Moeis memimpin pemogokan buruh di Yogyakarta sebagai reaksi atas pemecatan pekerja pribumi secara sepihak oleh pemerintah. Saat itu, Moeis menjabat sebagai ketua Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemiputera (PPPB). Aksi mogok ini dengan cepat meluas hingga luar Yogyakarta dan dalam waktu 2 minggu, sekitar 1.000 orang buruh pegadaian Karesidenan Cirebon, Kedu, Pekalongan, Semarang, Rembang, Kediri, serta Surabaya mengadakan aksi mogok kerja secara massal.

Pemogokan besar-besaran ini membuat pemerintah kolonial kelabakan dan mengajukan perundingan. Moeis pemecatan buruh dibatalkan dan meminta pemerintah membentuk komite penyelidik ketidakpuasan para buruh pegadaian. Sayangnya, tuntutan Moeis tak digubris pemerintah sehingga membuat Moeis geram dan menggalang pemogokan dengan massa yang lebih besar. Pemogokan pekerja pribumi menurut Abdoel Moeis adalah sebuah bentuk perjuangan nasional. Sebagai akibat pembangkangannya pada pemerintah kolonial, pada 8 Februari 1922 Moeis ditangkap dan diasingkan ke Garut. Pengasingan ini membuatnya tak lagi bisa bergabung bersama rekan seperjuangannya, dan akhirnya memutuskan menjadi petani. Paska kemerdekaan, ternyata Belanda tak meninggalkan Hindia begitu saja dan melancarkan agresi militer. Moeis yang saat itu berada di pengasingan, memutuskan untuk membentuk Persatuan Perjuangan Priangan, suatu persatuan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Laskar perjuangan ini ia pimpin dengan segenap hati sebagai pengabdian pamungkasnya terhadap Republik Indonesia hingga akhirnya menutup usia di kota Bandung pada 17 Juni 1959. Perjuangan Abdoel Moeis diakui pemerintah sehingga dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional yang pertama oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959. Sebagai penghormatan, Moeis dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.

Selain populer sebagai aktivis pergerakan, pejuang intelektual, juga pegiat pers perjuangan, Abdoel Moeis juga terkenal sebagai sastrawan hebat Indonesia. Salah satu karyanya yang legendaris adalah novel "Salah Asuhan". Novel yang terbit pada tahun 1928 ini, difilmkan oleh Asrul Sani pada tahun 1972, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Robin Susanto dan diterbitkan dengan judul Never the Twain oleh Lontar Foundation sebagai salah satu seri Modern Library of Indonesia, dan masih sering menjadi referensi sastra hingga kini. Karya Abdoel Moeis lainnya adalah Pertemuan Jodoh (novel, 1933), Surapati (novel, 1950), dan Robert Anak Surapati(novel, 1953), serta beberapa terjemahan, antara lain; Don Kisot (karya Cerpantes, 1923), Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928), Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932), Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950).

Jumat, 06 September 2013


Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – wafat di Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun[1]) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.

Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.

Riwayat
  • Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
  • Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
  • Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
  • Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
  • Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
  • Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.
Perjuangan

Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.

Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh "sekelompok orang tak dikenal" di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda.

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.

Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1].

Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.

Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.

Tidak kurang dari 500 kilometer jarak ditempuh ribuan orang selama dua bulan dari Madiun ke arah Pacitan, lalu ke Utara, sebelum akhirnya mereka, antara lain Amir Sjarifuddin, ditangkap di wilayah perbatasan yang dikuasai tentara Belanda. Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada ”Paduka Tuan” Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis ”saya menjamin keselamatan Pak Djoko”. Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun. Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis.


Madilog

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.

Ref : http://voiceofsubaltern.blogspot.com/2007/09/biografi-almarhum-tan-malaka-1894-1949.html
http://purwoko.staff.ugm.ac.id/web/?p=60
http://id.wikipedia.org/wiki/Tan_Malaka

Biografi Jenderal Gatot SubrotoJenderal Gatot Subroto lahir di Banyumas 10 Oktober 1909, ini sejak anak-anak sudah menunjukkan watak seorang pemimpin. Dia memiliki keberanian, ketegasan, tanggung jawab, dan berpantang akan kesewenangan. Pengalaman tidak manis pernah dialaminya ketika masih bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Karena berkelahi dengan seorang anak Belanda, dia akhirnya dikeluarkan dari sekolah tersebut. Kasus itu sudah cukup menunjukkan bahwa sejak kecil dirinya sudah memiliki sifat pemberani dan tegas. Di kala orang tidak ada yang berani menantang anak-anak Belanda yang merasa lebih tinggi derajatnya dari kaum pribumi, Gatot Subroto dengan tanpa gentar sedikitpun maju menantang.

Dikeluarkan dari sekolah ELS dia kemudian masuk ke sekolah Holands Inlandse School (HIS). Dari sana, dia akhirnya menyelesaikan pendidikan formalnya. Namun setamat HIS, dia memilih tidak meneruskan pendidikannya ke sekolah yang lebih tinggi, tetapi bekerja sebagai pegawai. Pilihannya menjadi pegawai tersebut ternyata juga tidak memuaskan jiwanya. Dia kemudian keluar dari pekerjaanya dan masuk sekolah militer di Magelang pada tahun 1923. Setelah menyelesaikan pendidikan militer, Gatot pun menjadi anggota KNIL (Tentara Hindia Belanda) hingga akhir pendudukan Belanda di Indonesia.

Tentara yang aktif dalam tiga zaman ini pernah menjadi Tentara Hindia Belanda (KNIL) pada masa pendudukan Belanda, anggota Pembela Tanah Air (Peta) pada masa pendudukan Jepang dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah kemerdekaan Indonesia serta turut menumpas PKI pada tahun 1948. Ia juga menjadi penggagas terbentuknya Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Berpendirian tegas dan memiliki solidaritas yang tinggi, merupakan ciri khas dari Jenderal Gatot Subroto. Pria lulusan Sekolah Militer Magelang masa pemerintahan Belanda, ini paling tidak bisa mentolerir setiap tindak kezaliman, walau oleh siapapun dan kapanpun.

Ketika Perang Dunia ke II bergolak, pasukan Belanda berhasil ditaklukkan pasukan Jepang. Indonesia yang sebelumnya merupakan daerah pendudukan Belanda beralih jadi kekuasaan pemerintah Kerajaan Jepang. Pada masa Pendudukan Jepang ini, Gatot pun langsung mengikuti pendidikan Tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yakni pendidikan dalam rangka perekrutan tentara pribumi oleh pemerintahan Jepang di Indonesia. Tamat dari pendidikan Peta, dia diangkat pemerintah Jepang menjadi komandan kompi di Sumpyuh, Banyumas dan tidak berapa lama kemudian dinaikkan menjadi komandan batalyon.

Foto Jenderal Gatot Subroto
Kesertaan Gatot Subroto menjadi anggota KNIL maupun Peta tidaklah mengindikasikan dirinya seorang kaki tangan pihak kolonial atau jiwa kebangsaannya yang rendah. Tapi hal itu hanyalah sebatas pekerjaan yang sudah lumrah zaman itu. Jiwa kebangsaan Gatot Subroto tetap tinggi. Di dalam menjalankan tugasnya sebagai tentara pendudukan, perlakuannya sering terlihat memihak kepada rakyat kecil.

Perlakuan itu bahkan sering diketahui atasannya sehingga dia sering mendapat teguran. Bahkan karena begitu tebalnya perhatian dan solider terhadap kaumnya, sering sebagian dari gajinya disumbangkan untuk membantu keluarga orang hukuman yang ada di bawah pengawasannya. Begitu juga halnya pada masa pendudukan Jepang, dia sering menentang orang Jepang yang bertindak kasar terhadap anak buahnya.
Terhadap bawahannya, Gatot juga terkenal sebagai seorang pimpinan yang sangat perhatian. Namun walaupun begitu, sebagai militer, tanpa pandang bulu dia juga sangat tegas terhadap anak buahnya yang melanggar disiplin.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Gatot langsung masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), tentara bentukan pemerintah Indonesia sendiri dan merupakan tentara resmi RI yang dalam perjalanannya kemudian berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sejak kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan kemerdekaan RI atau pada masa Perang Kemerdekaan yakni antara tahun 1945-1950, dia dipercayai memegang beberapa jabatan penting. Pernah dipercaya menjadi Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya.

Bersamaan di saat dirinya menjabat Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun pun bergolak yakni pada bulan September 1948. Pemberontakan yang didalangi oleh Muso itu akhirnya berhasil diatasi dengan gemilang. Setelah banyak terjadi peristiwa dalam mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda, pengakuan kedaulatan republik ini pun berhasil diperoleh. Pasca pengakuan kedaulatan itu, Gatot Subroto semakin dipercaya mengemban tugas yang lebih tinggi. Dia diangkat menjadi Panglima Tentara & Teritorium (T & T) IV I Diponegoro.

Monumen Jenderal Gatot Subroto
Namun karena sesuatu hal pada tahun 1953, dia sempat mengundurkan diri dari dinas militer. Namun tiga tahun kemudian dia diaktifkan kembali sekaligus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad). Di kalangan militer, dia dikenal sebagai seorang pimpinan yang mempunyai perhatian besar terhadap pembinaan perwira muda. Menurutnya, salah satu cara untuk membina perwira muda adalah dengan menyatukan akademi militer setiap angkatan yakni Angkatan Darat, Laut, dan Udara, menjadi satu akademi. Gagasan tersebut akhirnya terwujud dengan terbentuknya Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI).

Gatot Subroto akhirnya meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 11 Juni 1962, pada usia 55 tahun. Sang Jenderal ini dimakamkan di desa Sidomulyo, kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Atas jasa-jasanya yang begitu besar bagi negara, seminggu setelah kematiannya, Jenderal Gatot Subroto dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dikuatkan dengan SK Presiden RI No.222 Tahun 1962, tgl 18 Juni 1962.

Rabu, 28 Agustus 2013

Biografi H. Agus Salim: Berjuang Tak Kenal Usia H. Agus Salim terlahir dengan nama Mashudul Haq, yang bermakna "pembela kebenaran" di kota Gadang, Bukit Tinggi, Minangkabau pada 8 Oktober 1884. H. Agus Salim terlahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau. H. Agus Salim menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak.
Pendidikan dasar H. Agus Salim ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus untuk anak-anak Eropa. Ia lalu melanjutkan pendidikan ke Hoogere Burger School (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda. Setelah lulus, ia bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris di sebuah kongsi pertambangan di Indragiri, Riau. Pada 1906, ia berkangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Di sana, ia berguru kepada pamannya, Syekh Ahmad Khatib.
H. Agus Salim kemudian menekuni dunia jurnalistik sejak 1915 di harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu, ia diangkat menjadi Ketua Redaksi. Hingga akhirnya ia menjadi Pimpinan harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian, ia pun mendirikan surat kabar Fadjar Asia. Selanjutnya, ia menjadi redaktur di harian Moestika di Yogyakarta, dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu, ia terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Karir politiknya dimulai pada 1915, ketika ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto. Sejak itu, H. Agus Salim banyak terlibat dalam pentas politik bangsa ini, terutama berperan pada masa perjuangan kemerdekaan. Peran sertanya dalam perjuangan kemerdekaan RI antara lain sebagai anggota Volksraad (1921 - 1924), anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945, Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet II 1947, pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab. Selain itu, ia juga menjadi Menteri Luar Negeri pada Kabinet Amir Sjarifuddin (1947) dan Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta (1948 - 1949).
Di antara tahun 1946 - 1950, H. Agus Salim laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia. Dengan demikian, ia kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Pada 1950 sampai akhir hayatnya, ia dpercaya sebagai Penasihat Menteri Luar Negeri. Pada 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Walaupun penanya tajam dan kritikannya pedas, Haji Agus Salim masih mengenal batas-batas dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Pada 1953, ia menulis buku Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauhid Harus Dipahamkan? Kemudian, buku itu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Takdir, dan Tawakal.
H. Agus Salim wafat pada 4 November 1954 di RSU Jakarta. Beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya bagi negeri ini, pemerintah Indonesia menganugerahinya sebagai seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), bernama asli Muhammad Shahab atau Petto Syarif, adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973 .

Tuanku Imam Bonjol dilahirkan di Bonjol, Pasaman, Indonesia pada tahun 1772.Beliau kemudiannya meninggal dunia di Manado, Sulawesi pada 6 November 1864 dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di Khusus Lotak, Minahasa

Tuanku Imam Bonjol bukanlah seorang Minahasa. Dia berasal dari Sumatera Barat. "Tuanku Imam Bonjol" adalah sebuah gelaran yang diberikan kepada guru-guru agama di Sumatra. Nama asli Imam Bonjol adalah Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin.

Dia adalah pemimpin yang paling terkenal dalam gerakan dakwah di Sumatera, yang pada mulanya menentang perjudian, laga ayam, penyalahggunaan dadah, minuman keras, dan tembakau, tetapi kemudian mengadakan penentangan terhadap penjajahan Belandayang memiliki semboyan Gold, Glory, Gospel sehingga mengakibatkan perang Padri (1821-1837).

Mula-mula ia belajar agama dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian dari beberapa orang ulama lainya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol adalah pengasas negeri Bonjol.

Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.

Golongan adat yang merasa terancam kedudukanya, mendapat bantuan dari Belanda. Namun gerakan pasukan Imam Bonjol yang cukup tangguh sangat membahayakan kedudukan Belanda. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Perjanjian itu disebut "Perjanjian Masang". Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.

Pertempuran-pertempuran berikutnya tidak banyak bererti, kerena Belanda harus mengumpul kekuatanya terhadap Perang Diponogoro. Tetapi setelah Perang Diponogoro selesai, maka Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menaklukan seluruh Sumatra Barat.

Imam Bonjol dan pasukanya tak mahu menyerah dan dengan gigih membendung kekuatan musuh. Namun Kekuatan Belanda sangat besar, sehingga satu demi satu daerah Imam Bonjol dapat direbut Belanda. Tapi tiga bulan kemudian Bonjol dapat direbut kembali. Ini terjadi pada tahun 1832.

Belanda kembali mengerahkan kekuatan pasukanya yang besar. Tak ketinggalan Gabernor Jeneral Van den Bosch ikut memimpin serangan ke atas Bonjol. Namun ia gagal. Ia mengajak Imam Bonjol berdamai dengan maklumat "Palakat Panjang", Tapi Tuanku Imam curiga.

Untuk waktu-wakyu selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia tak mahukan untuk berdamai dengan Belanda.Tiga kali Belanda mengganti panglima perangnya untuk merebut Bonjol, sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat. Setelah tiga tahun dikepung, barulah Bonjol dapat dikuasai, iaitu pada tanggal 16 Ogos 1837.

Pada tahun 1837, desa Imam Bonjol berjaya diambil alih oleh Belanda, dan Imam Bonjol akhirnya menyerah kalah. Dia kemudian diasingkan di beberapa tempat, dan pada akhirnya dibawa ke Minahasa. Dia diakui sebagai pahlawan nasional.

Sebuah bangunan berciri khas Sumatera melindungi makam Imam Bonjol. Sebuah relief menggambarkan Imam Bonjol dalam perang Padri menghiasi salah satu dinding. Di samping bangunan ini adalah rumah asli tempat Imam Bonjol tinggal selama pengasingannya

Riwayat Perjuangan

Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena "diundang" kaum Adat.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Gubernur Jendral Johannes van den Bosch pernah mengajak Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang", karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri . Bersatunya kaum Adat dan kaum Paderi ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).

Dalam MTIB, terefleksi ada rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. Tuanku Imam Bonjol sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. "Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?" (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), ungkap Tuanku Imam Bonjol seperti tertulis dalam MTIB (hal 39).

Penyesalan dan perjuangan heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) juga dapat menjadi apresiasinya akan kepahlawanannya menentang penjajahan[3]. — seperti rinci dilaporkan G. Teitler yang berjudul Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837.

Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian depan menyerang pertahanan Paderi.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
KH. Abdul Wahid Hasyim (1914-1953) memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia, khususnya sejarah Islam di Indonesia. Beliau merupakan pendiri Partai Nahdlatul Ulama (NU), pernah menjabat sebagai Menteri Agama, dan anggota BPUPKI serta salah seorang penandatangan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yaitu preambul UUD Republik Indonesia yang ditandatangani pada 22 Juni 1945 di Jakarta. 
Wahid Hasyim lahir pada tanggal 1 Juni 1914. Ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah seorang ulama besar dan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Sejak kecil ia belajar di pesantren Tebuireng dan berbagai pesantren lainnya, bahkan sampai ke Mekah saat berusia 18 tahun. Ia sangat giat belajar dan memiliki hobi membaca yang sangat kuat. Ia memperdalam ilmunya dengan berlangganan koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun bahasa asing. Ia memang merupakan pribadi yang cerdas dan seorang otodidak yang hebat. 
Pada waktu berumur 24 tahun ia mulai aktif di organisasi NU dan tahun berikutnya ia diangkat menjadi anggota Pengurus Besar NU. Pada tahun itu juga ia dipilih menjadi Ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi sejumlah organisasi sosial-politik Islam dan wadah persatuan umat Islam. Ia terpilih kembali sebagai ketua dewan dalam Kongres Muslimin Indonesia, yang merupakan kelanjutan MIAI. Tetapi organisasi ini dibubarkan oleh jepang pada 1943 dan tidak lama kemudian berdiri wadah baru bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). 
Saat itu pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Shumubu, yaitu badan urusan agama Islam yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua. Tetapi  Wahid Hasyim yang kemudian ditunjuk sebagai pimpinan disana mewakili ayahnya yang tidak bisa meninggalkan Jawa Timur. Badan ini yang menjelma menjadi Departemen Agama setelah Indonesia merdeka.
Sebelum meninggalkan Indonesia, pemerintah Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelirik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Wahid Hasyim ditunjuk sebagai salah satu anggotanya. Setelah sidang pertama, dibentuk panitia kecil yang terdiri atas sembilan orang yang dipilih, salah satunya adalah Wahid Hasyim. Tokoh lainnya adalah Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebardjo, dan Muhammad Yamin. Panitia kecil ini berhasil mencapai suatu modus vivendi antara dua kelompok yang berbeda pendapat, yaitu pihak nasionalis dan Islam mengenai dasar negara. Panitia Sembilan ini menyetujui rancangan preambul UUD Republik Indonesia yang mereka tandatangani pada 22 Juni 1945, yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Setelah berakhir masa revolusi dan Indonesia mendapat kedaulatan, Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Hatta (20 Desember 1949 - 6 September 1950) dan menduduki jabatan yang sama dalam dua kabinet berikutnya; Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951) dan Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952). Banyak langkah penting yang ia lakukan sebagai Menteri Agama, antara lain; mewajibkan pendidikan agama di lingkungan sekolah umum, mendirikan sekolah guru agama, pendirian Perguruan Tinggi Agama Silam Negeri pada 15 Agustus 1951 yang berkembang menjadi 14 Institut Agama Islam negeri (IAIN) di 14 propinsi, dan lain-lain.
Saat itu Wahid Hasyim duduk sebagai Ketua Muda II Dewan Partai Masyumi, yang merupakan satu-satunya partai politik Islam. Tetapi ia sering mengkritik kepemimpinan PB Masyumi yang dianggap terlalu lemah. Hingga dalam kongres NU di Palembang pada April 1952, dimana ia bertindak sebagai pemimpin Kongres, NU memutuskan untuk lepas dari Masyumi dan mengembangkan diri menjadi partai politik. Sebelumnya NU merupakan anggota istimewa partai Masyumi.
Wahid Hasyim meninggal dunia pada 15 April 1953 dalam usia muda, belum genap 40 tahun. Beliau meninggal dalam sebuah kecelakaan di Cimahi dan dimakamkan di Jombang di pemakaman keluarga pesantren Tebuireng.
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!