Eduard Douwes Dekker, yang kemudian dikenal dengan nama Multatuli, lahir
pada 2 Maret 1820 di Amsterdam, Belanda. Ia berasal dari keluarga
sederhana. Ayahnya seorang nakhoda bernama Engel Douweszoon Dekker
sedangkan ibunya bernama Sytske Eeltje Klein. Ia anak keempat.
Pada usia 18 tahun ia pergi ke Hindia Belanda untuk mengadu nasib. Di
tahun 1839 ia menjadi pegawai negeri di Hindia Belanda. Pada 1842 ia di
pindahkan ke Sumatra Barat dan menjadi kontrolir di Natal. Tetapi
kemudian dipindahkan ke Padang karena tidak bisa mempertanggungawabkan
isi kas yang dipegangnya. Sejak itu ia akrab dengan kemiskinan.
Pada Semtember 1845 ia bertugas berturut-turut di Karawang, Bagelen, dan
Manado. Ia bertemu dengan Tine, calon istrinya di Parakan Salak.
Setelah bertunangan pada 18 Agustus 1845, mereka menikah pada 10 April
1846.
Eduard diangkan menjadi komis di kantor residen di Purworejo sebulan
setelah menikah. Di bulan Oktober 1848 ia menjadi sekretaris di Manado.
Kemudian ia diangkan menjadi asisten residen di Ambon pada 1851. Karena
terlalu lelah ia kemudian jatuh sakit.maka pada tahun 1852 ia berlibur
ke Belanda bersama istrinya.
Pada 1855 ia kembali ke Batavia setelah kehidupnya di Belanda hancur
karena hidupnya yang urakan yang membuat utangnya menumpuk. Bersama
keluarganya ia tinggal di Bogor dan menerima uang tunggu. Ia akhirnya
bisa berhubungan dengan Duymaer van Twist, gubernur jenderal yang
mengangkatnya menjadi asisten residen di Lebak dan berkedudukan di
Rangkasbitung.
Pada 24 Februari 1856 ia mengirim laporan pada Residen Brest di Serang.
Ia menuduh bupati Lebak menyalahgunakan kekuasaannya dan dicurigai
melakukan pemerasan. Dua hari setelah menerima laporan itu Residen Brest
van Kempen segera menuju Lebak untuk membicarakan persoalan tersebut.
Kempen meminta Douwes Dekker untuk menyerahkan arsip dan bukti
kepadanya. Tetapi Dekker menolak, ia ingin memikul semua tanggung
jawbnya sendiri. Akhirnya kempen langsung melapor kepada gubernur
jenderal Twist dan meminta Dekker dipecat karena tidak patuh. Gubernur
jenderal tidak memecatnya, hanya memindahkannya ke Ngawi. Douwes Dekker
menolak pemindahan dan ia minta berhenti. Pada tanggal 20 April 1856 ia
meninggalkan lebak dan kembali ke Belanda, sedangkan istri dan anaknya
ditinggalkan di Batavia.
Pada Januari 1858 ia tiba di Brussel, Belgia. Di kamar losmen Au Prince
Belge, selama satu bulan di musim gugur tahun 1859 ia menulis buku Max Havelaar.
Ternyata buku itu tidak berkenan di hati penguasa Belanda karena berisi
kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi
di Hindia-Belanda, dan membujuk Dekker untuk tidak menerbitkan naskah
itu. Dekker bersedia asal ia diangkat menjadi residen di Pasuruan.
Selain itu ia minta persekot besar untuk melunasi utang-utangnya dan
akhirnya ia minta Bintang Ksatria Singa Belanda. Setelah tawar menawar,
ia juga ingin diangkat menjadi anggota Dewan Hindia Belanda.
Permintaan itu ditolak, maka terbitah buku Max Havelaar dengan menggunakan nama pena Multatuli yang berarti Aku Yang Menderita. Ternyata Max Havelaar
laris. Tetapi Dekker sendiri tetap hidup dalam kemiskinan dan
kesehatannya menurun. Sebelumnya Dekker banyak menulis buku lainnya,
tetapi Max Havelaar yang membuat namanya menjadi terkenal.
Pada tanggal 19 Februari 1887, dua minggu sebelum ulang tahunnya ia meninggal dunia di tepi sungai Rhein, Jerman.
0 komentar:
Posting Komentar