H. Agus Salim terlahir dengan nama Mashudul Haq, yang bermakna "pembela
kebenaran" di kota Gadang, Bukit Tinggi, Minangkabau pada 8 Oktober
1884. H. Agus Salim terlahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim
dan Siti Zainab. Ayahnya seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau.
H. Agus Salim menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang
anak.
Pendidikan dasar H. Agus Salim ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus untuk anak-anak Eropa. Ia lalu melanjutkan pendidikan ke Hoogere Burger School
(HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di
HBS se-Hindia Belanda. Setelah lulus, ia bekerja sebagai penerjemah dan
pembantu notaris di sebuah kongsi pertambangan di Indragiri, Riau. Pada
1906, ia berkangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat
Belanda di sana. Di sana, ia berguru kepada pamannya, Syekh Ahmad
Khatib.
H. Agus Salim kemudian menekuni dunia jurnalistik sejak 1915 di harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu, ia diangkat menjadi Ketua Redaksi. Hingga akhirnya ia menjadi Pimpinan harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian, ia pun mendirikan surat kabar Fadjar Asia. Selanjutnya, ia menjadi redaktur di harian Moestika di Yogyakarta, dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu, ia terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Karir politiknya dimulai pada 1915, ketika ia bergabung dengan Sarekat
Islam (SI) dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S.
Tjokroaminoto. Sejak itu, H. Agus Salim banyak terlibat dalam pentas
politik bangsa ini, terutama berperan pada masa perjuangan kemerdekaan.
Peran sertanya dalam perjuangan kemerdekaan RI antara lain sebagai
anggota Volksraad (1921 - 1924), anggota panitia 9 BPUPKI yang
mempersiapkan UUD 1945, Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946
dan Kabinet II 1947, pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan
negara-negara Arab. Selain itu, ia juga menjadi Menteri Luar Negeri pada
Kabinet Amir Sjarifuddin (1947) dan Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta
(1948 - 1949).
Di antara tahun 1946 - 1950, H. Agus Salim laksana bintang cemerlang
dalam pergolakan politik Indonesia. Dengan demikian, ia kerap kali
digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Pada 1950 sampai
akhir hayatnya, ia dpercaya sebagai Penasihat Menteri Luar Negeri. Pada
1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Walaupun penanya tajam
dan kritikannya pedas, Haji Agus Salim masih mengenal batas-batas dan
menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Pada 1953, ia menulis buku Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauhid Harus Dipahamkan? Kemudian, buku itu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Takdir, dan Tawakal.
H. Agus Salim wafat pada 4 November 1954 di RSU Jakarta. Beliau
dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Sebagai bentuk penghargaan atas
jasa-jasanya bagi negeri ini, pemerintah Indonesia menganugerahinya
sebagai seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar